BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Konstruktivisme
Asal kata konstruktivisme adalah
“to construct” yang artinya membangun atau menyusun. Bahwa teori
konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang menenkankan bahwa para siswa
sebagai pebelajar tidak menerima begitu saja pengetahuan yang mereka dapatkan,
tetapi mereka secara aktif membengun pengetahuan secara individual[1]. Bahwa
konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.[2]
Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi
dengan lingkungannya. Dalam model ini, peserta didik
dianjurkan untuk bertukar fikiran melalui tahap pencetusan ide. tahap ini juga
dapat merangsang peserta didik meninjau semula ide asal mereka. Dalam tahap
penstrukturan semula ide, guru dianjurkan merancang aktivitas yang sesuai untuk
membantu peserta didik mengubah idea asal mereka. Peserta didik diberi peluang
untuk mengguknakan idea asal mereka sendiri dan juga idea rakan-rakan mereka.
Ide baru yang dikeluarkan oleh peserta didiksendiri biasanya lebih mudah
diterima oleh mereka jika sekiranya ide tersebut mudah difahami dan berguna.
Dalam tahap penggunaan ide, peserta didik boleh menggunakan ide baru mereka
untuk menyelesaikan masalah dan menerangkan fenomena yang berkaitan dengan
ide-ide itu. tahap mengingat kembali merupakan tahap terakhir. Dalam tahap ini
peserta didik membandingkan ide asal mereka dengan ide baru dan merenung
kembali proses pembelajaran yang telah mengakibatkan perubahan ke atas ide
mereka. Fasa ini juga dapat memperkembangkan kemahiran meta kognitif.
Model
pembelajaran konstruktivistik adalah salah satu pandangan dari proses
pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran (memperoleh
pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif dapat
diselesaikan hanya melalui pengetahuan yang akan dibangun sendiri oleh anak
melalui pengalaman dari interaksi dengan lingkungan. Konflik kognitif terjadi
ketika interaksi antara konsepsi awal sudah memiliki siswa dengan fenomena baru
yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga perubahan yang
diperlukan/modifikasi untuk mencapai keseimbangan struktur kognitif.
Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibuat atau terbangun di pikiran
siswa sendiri ketika ia mencoba untuk mengatur pengalaman barunya berdasarkan
kerangka kognitif yang ada dalam pikiran, sehingga pembelajaran matematika
adalah proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa
itu sendiri melalui pengalaman transformasi individu siswa. Selain itu,
pentingnya pemecahan masalah keterampilan, terutama ketika siswa bekerja atau
belajar di bahan lain, akan memerlukan perubahan dalam proses pembelajaran.
Teori Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar
sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi
makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Salah satu teori atau pandangan
yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah
teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar
tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan.[3]
Selanjutnya, Piaget yang dikenal
sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun
dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi.[4]
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi
adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga
informasi tersebut mempunyai tempat[5]. Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan
skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah
ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.[6]
Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses tersebut meliputi:
1. Skema/skemata adalah
struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami
perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi
sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan
terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses
kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya
menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah
proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek
seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan
akomodasi.
Lebih
jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan
kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan.[7]
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah
siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara
tepat.
Konstruktivis
ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial.[8]
Ada
dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development
(ZPD) dan scaffolding.[9]
1.
Zone of Proximal Development (ZPD)
merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan
potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih
mampu.
2.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah
bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya
Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan
masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan
yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial)
disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial
memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi
matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem
posing) oleh manusia.[10]
Dalam pembelajaran matematika, konstruktivisme sosio (socio-constructivism),
siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada
pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon
masalah yang diberikan[11].
Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan
karakteristik RME.
Tujuan
dari teori ini adalah sebagai berikut:
- Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban Anda sendiri.
- Membantu siswa untuk mengembangkan wawasan dan pemahaman konsep secara penuh.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang independen.
- Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana untuk mempelajarinya
B.
Ciri-Ciri Pembelajaran Secara
Konstuktivisme
Adapun
ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
1.
Memberi peluang kepada murid membina
pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
2.
Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan
oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.
Menyokong pembelajaran secara koperatif
mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4.
Mengambil kira dapatan kajian bagaimana
murid belajar sesuatu ide.
5.
Menggalakkan & menerima daya usaha
& autonomi murid.
6.
Menggalakkan murid bertanya dan
berdialog dengan murid & guru.
7.
Menganggap pembelajaran sebagai suatu
proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.
Menggalakkan proses inkuiri murid
melalui kajian dan eksperimen.
C.
prinsip-prinsip
Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang
diterapkan dalam belajar mengajar adalah :
- Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
- Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
- Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
- Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar
- Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
- Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
- Mencari dan menilai pendapat siswa
- Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting
adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa .
Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi
, tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
D.
Lima Fasa Model Konstruktivisme
Fasa-fasa
pengajaran berasaskan model konstruktivisme 5-fasa seperti berikut:-
NO
|
Fasa
|
Tujuan/Kegunaan
|
Kaedah
|
I
|
Orientasi
|
Menimbulkan
minat dan menyediakan suasana
|
Awali
penyelesaikan masalah sebentar, tunjuk cara oleh guru, tayangan filem, video
dan keratan akhbar
|
II
|
Pencetusan
Idea
|
Supaya
murid dan guru sedar tentang idea terdahulu
|
Awali,
perbincangan dalam kumpulan kecil, pemetaan konset dan laporan
|
III
|
Penstrukturan
semula idea
i.
Pernjelasan dan pertukaran
ii.
Pendedahan kepada situasi konflik
iii.
Pembinaan idea baru
iv.
Penilaian
|
Mewujudkan
kesedaran tentang idea alternatif yang berbentuk saintifik.
Menyedari bahawa idea-idea sedia ada perlu diubahsuai, diperkembangkan atau diganti dengan idea yang lebih saintifik.
Mengenalpasti
idea-idea alternatif dan memeriksa secara kritis idea-idea sedia ada sendiri
Menguji kesahan idea-idea sedia ada
Pengubahsuaian,
pemgembangan atau penukaran idea
Menguji
kesahan untuk idea-idea baru yang dibina
|
Perbincangan
dalam kumpulan kecil dan buat laporan
Perbincangan,
pembacaan, input guru.
Amali,
kerja projek, eksperimen, tunjukcara guru
|
IV
|
Penggunaan
idea
|
Pengukuhan
kepada idea yang telah dibina dalam situasi baru dan biasa
|
Penulisan
sendiri kerja projek
|
V
|
Renungan
kembali
|
Menyedari
tentang perubahan idea murid. Murid dapat membuat refleksi sejauh manakah
idea asal mereka telah berubah.
|
Penulisan
kendiri, perbincangan kumpulan, catatan peribadi dan lain-lain.
|
E. Hakikat
Anak Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[12]
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya
menurut pandangan konstruktivisme.
Driver
dan Bell mengajukan karakteristik
sebagai berikut:[13]
·
Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu
yang pasif melainkan memiliki tujuan.
·
Belajar mempertimbangkan seoptimal
mungkin proses keterlibatan siswa.
·
Pengetahuan bukan sesuatu yang datang
dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
·
Pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
·
Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,
melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.[14]
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut
adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap
perkembagan mental.
Perkembangan intelektual terjadi melalui
tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya,
setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang
sama, tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi
mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan
gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan
(equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara
pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).[15]
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah
sebagai berikut:[16]
1.
Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi.
2.
Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan
3.
Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
F. Hakikat Pembelajaran
Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut
teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja
dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara
mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil
yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan
dengan hal di atas,[17] mengemukakan
tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama
adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru
yang diterima.
Selain
penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme,[18]
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
o
Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan
cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
o
Pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti.
o
Strategi siswa lebih bernilai, dan
o
Siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme,[19] mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
v Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
v Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif.
v Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
v Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
v Mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
v Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa
lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
G. Unsur Penting
dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivisme
Berdasarkan
hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah
ahli,[20]
menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang
konstruktivis, yaitu:
1.
Memperhatikan
dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan
pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus
memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk
mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2.
Pengalaman
belajar yang autentik dan bermakna
Segala
kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa
sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk
mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari
kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3.
Adanya
lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa
diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja
dalam berbagai konteks sosial.
4.
Adanya
dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa
didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena
itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur
kegiatan belajarnya.
5.
Adanya usaha
untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains
bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses
dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
H.
Kelebihan Metode Konstruktivisme
Ø
Pembelajaran
berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri,
berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan
tentang gagasannya.
Ø
pembelajaran berdasarkan
konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah
dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa
agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki
kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan
dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
Ø
pembelajaran
konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif,
mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada
saat yang tepat.
Ø
pembelajaran berdasarkan
konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar
siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai
konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa
untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
Ø
pembelajaran
konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka
setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
Ø
pembelajaran
konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung
siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada
satu jawaban yang benar.
I.
Kekurangan Metode Konstruktivisme
ü
Siswa membangun pengetahuan mereka
sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi siswa tidak cocok dengan pembangunan
ilmuwan yang menyebabkan kesalahpahaman.
ü
Konstruktivisme pengetahuan kita
menanamkan bahwa siswa membangun sendiri, hal ini pasti memakan waktu yang lama
dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda.
ü
Situasi dan kondisi masing-masing
sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki infrastruktur yang
dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya pendekatan pengajaran dan
pembelajaran yang berasaskan Konstruktivisme akan memberi peluang kepada guru
untuk memilih kaidah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan murid dapat
menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau
pengetahuan. Disamping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai
kefahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi. Selain
itu, beban guru sebagai pengajar akan berkurangan di mana guru lebih bertindak
sebagai pemudahcara atau fasilitator.
Pembelajaran secara Konstruktivisme berdasarkan
beberapa pandangan baru tentang ilmu pengetahuan dan bagaimana boleh diperolehi
ilmu tersebut. Pembentukan pengetahuan baru lahir daripada gabungan
pembelajaran terlebih dahulu. Pembelajaran ini menggalakkan murid mencipta
penyelesaian mereka sendiri dan menguji dengan menggunakan hipotesis-hipotesis
dan idea-idea baru.
B. Saran-saran
ü Pergunakanlah
teori kontruktivisme dalam proses belajar mengajar.
ü Jadikanlah
teori kontruktivisme sebagai media pembelajaran yang menjadikan anak lebih
kreatif dan inovatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Soemanto, Wasty. 1998.
Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Wahab, Rochmad. 1999.
Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. DEPDIKNAS
Dalyono. 2009.
Psokologi pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Uno, Hamzah. 2010.
Orientasi Baru dalam Psokologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara
Ormrod, Jeanne. 2008.
Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta:
Erlangga
[1] Carin (dalam
Anggriamurti, 2009)
[2] Von Glasersfeld
(dalam Anggriamurti, 2009)
[3] (Ruseffendi,
1988: 132)
[4] (Dahar,
1989: 159)
[5] (Ruseffendi 1988:133)
[6] (Suparno,
1996: 7)
[7] (Poedjiadi,
1999: 61)
[8] (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993;
Atwel, Bleicher & Cooper, 1998)
[9] (Slavin,
1997)
[10] (Ernest,
1991)
[11] (Cobb,
Yackel dan Wood 1992)
[12] (Poedjiadi,
1999: 61)
[13] (dalam
Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
[14] (Hudoyo,
1998: 5)
[15] Ruseffendi
(1988: 133)
[16] (Poedjiadi, 1999: 63)
[17] Tasker
(1992: 30)
[18] Hanbury
(1996: 3)
[19] Tytler
(1996: 20)
[20] Widodo,
(2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar