Jumat, 20 Desember 2013

makalah teori belajar konstruktivisme



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teori Konstruktivisme
Asal kata konstruktivisme adalah “to construct” yang artinya membangun atau menyusun. Bahwa teori konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang menenkankan bahwa para siswa sebagai pebelajar tidak menerima begitu saja pengetahuan yang mereka dapatkan, tetapi mereka secara aktif membengun pengetahuan secara individual[1]. Bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.[2] Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam model ini, peserta didik dianjurkan untuk bertukar fikiran melalui tahap pencetusan ide. tahap ini juga dapat merangsang peserta didik meninjau semula ide asal mereka. Dalam tahap penstrukturan semula ide, guru dianjurkan merancang aktivitas yang sesuai untuk membantu peserta didik mengubah idea asal mereka. Peserta didik diberi peluang untuk mengguknakan idea asal mereka sendiri dan juga idea rakan-rakan mereka. Ide baru yang dikeluarkan oleh peserta didiksendiri biasanya lebih mudah diterima oleh mereka jika sekiranya ide tersebut mudah difahami dan berguna. Dalam tahap penggunaan ide, peserta didik boleh menggunakan ide baru mereka untuk menyelesaikan masalah dan menerangkan fenomena yang berkaitan dengan ide-ide itu. tahap mengingat kembali merupakan tahap terakhir. Dalam tahap ini peserta didik membandingkan ide asal mereka dengan ide baru dan merenung kembali proses pembelajaran yang telah mengakibatkan perubahan ke atas ide mereka. Fasa ini juga dapat memperkembangkan kemahiran meta kognitif.
Model pembelajaran konstruktivistik adalah salah satu pandangan dari proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran (memperoleh pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif dapat diselesaikan hanya melalui pengetahuan yang akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalaman dari interaksi dengan lingkungan. Konflik kognitif terjadi ketika interaksi antara konsepsi awal sudah memiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga perubahan yang diperlukan/modifikasi untuk mencapai keseimbangan struktur kognitif. Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibuat atau terbangun di pikiran siswa sendiri ketika ia mencoba untuk mengatur pengalaman barunya berdasarkan kerangka kognitif yang ada dalam pikiran, sehingga pembelajaran matematika adalah proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa itu sendiri melalui pengalaman transformasi individu siswa. Selain itu, pentingnya pemecahan masalah keterampilan, terutama ketika siswa bekerja atau belajar di bahan lain, akan memerlukan perubahan dalam proses pembelajaran.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.[3]
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi.[4] Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat[5]. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.[6]
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses tersebut meliputi:
1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[7]
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat.
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.  Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial.[8]
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.[9]
1.      Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
2.      Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah.  Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial.  Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia.[10]  Dalam pembelajaran matematika, konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi  untuk merespon masalah yang diberikan[11].  Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.
Tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
  1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
  2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban Anda sendiri.
  3. Membantu siswa untuk mengembangkan wawasan dan pemahaman konsep secara penuh.
  4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang independen.
  5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana untuk mempelajarinya
B.     Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
1.      Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
2.      Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.      Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4.      Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
5.      Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid.
6.      Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
7.      Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.      Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

C.    prinsip-prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah :
  1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
  2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
  3. Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
  4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar
  5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
  6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
  7. Mencari dan menilai pendapat siswa
  8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
D.    Lima Fasa Model Konstruktivisme
Fasa-fasa pengajaran berasaskan model konstruktivisme 5-fasa seperti berikut:-
NO
Fasa
Tujuan/Kegunaan
Kaedah
I
Orientasi
Menimbulkan minat dan menyediakan suasana
Awali penyelesaikan masalah sebentar, tunjuk cara oleh guru, tayangan filem, video dan keratan akhbar
II
Pencetusan Idea
Supaya murid dan guru sedar tentang idea terdahulu
Awali, perbincangan dalam kumpulan kecil, pemetaan konset dan laporan
III
Penstrukturan semula idea
i. Pernjelasan dan pertukaran
ii. Pendedahan kepada situasi konflik
iii. Pembinaan idea baru
iv. Penilaian
Mewujudkan kesedaran tentang idea alternatif yang berbentuk saintifik.
Menyedari bahawa idea-idea sedia ada perlu diubahsuai, diperkembangkan atau diganti dengan idea yang lebih saintifik.
Mengenalpasti idea-idea alternatif dan memeriksa secara kritis idea-idea sedia ada sendiri
Menguji kesahan idea-idea sedia ada
Pengubahsuaian, pemgembangan atau penukaran idea
Menguji kesahan untuk idea-idea baru yang dibina

Perbincangan dalam kumpulan kecil dan buat laporan

Perbincangan, pembacaan, input guru.
Amali, kerja projek, eksperimen, tunjukcara guru
IV
Penggunaan idea
Pengukuhan kepada idea yang telah dibina dalam situasi baru dan biasa
Penulisan sendiri kerja projek
V
Renungan kembali
Menyedari tentang perubahan idea murid. Murid dapat membuat refleksi sejauh manakah idea asal mereka telah berubah.
Penulisan kendiri, perbincangan kumpulan, catatan peribadi dan lain-lain.

E.     Hakikat Anak Menurut  Teori Belajar Konstruktivisme
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[12]
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme.
Driver dan Bell  mengajukan karakteristik sebagai berikut:[13]
·         Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
·         Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
·         Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
·         Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
·         Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.[14]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental.
 Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).[15]
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut:[16]
1.      Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan
3.      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
F. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas,[17] mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme,[18] mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
o   Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
o   Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
o   Strategi siswa lebih bernilai, dan
o   Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme,[19] mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
v  Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
v  Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
v  Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
v  Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
v  Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
v  Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
G. Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivisme
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli,[20] menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1.      Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3.      Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4.      Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5.      Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
H.             Kelebihan Metode Konstruktivisme

Ø  Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
Ø  pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
Ø  pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
Ø  pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
Ø  pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
Ø  pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

I.             Kekurangan Metode Konstruktivisme

ü  Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi siswa tidak cocok dengan pembangunan ilmuwan yang menyebabkan kesalahpahaman.
ü  Konstruktivisme pengetahuan kita menanamkan bahwa siswa membangun sendiri, hal ini pasti memakan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda.
ü  Situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki infrastruktur yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan Konstruktivisme akan memberi peluang kepada guru untuk memilih kaidah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan murid dapat menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau pengetahuan. Disamping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kefahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi. Selain itu, beban guru sebagai pengajar akan berkurangan di mana guru lebih bertindak sebagai pemudahcara atau fasilitator.
Pembelajaran secara Konstruktivisme berdasarkan beberapa pandangan baru tentang ilmu pengetahuan dan bagaimana boleh diperolehi ilmu tersebut. Pembentukan pengetahuan baru lahir daripada gabungan pembelajaran terlebih dahulu. Pembelajaran ini menggalakkan murid mencipta penyelesaian mereka sendiri dan menguji dengan menggunakan hipotesis-hipotesis dan idea-idea baru.

B. Saran-saran
ü  Pergunakanlah teori kontruktivisme dalam proses belajar mengajar.
ü  Jadikanlah teori kontruktivisme sebagai media pembelajaran yang menjadikan anak lebih kreatif dan inovatif.









DAFTAR PUSTAKA
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Wahab, Rochmad. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. DEPDIKNAS
Dalyono. 2009. Psokologi pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Uno, Hamzah. 2010. Orientasi Baru dalam Psokologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara
Ormrod, Jeanne. 2008. Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Erlangga


[1] Carin (dalam Anggriamurti, 2009)
[2] Von Glasersfeld (dalam Anggriamurti, 2009)
[3] (Ruseffendi, 1988: 132)
[4] (Dahar, 1989: 159)
[5]  (Ruseffendi 1988:133)
[6] (Suparno, 1996: 7)
[7] (Poedjiadi, 1999: 61)
[8]  (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998)
[9] (Slavin, 1997)
[10] (Ernest, 1991)
[11] (Cobb, Yackel dan Wood 1992)
[12] (Poedjiadi, 1999: 61)
[13] (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
[14] (Hudoyo, 1998: 5)
[15] Ruseffendi (1988: 133)
[16]  (Poedjiadi, 1999: 63)
[17] Tasker (1992: 30)
[18] Hanbury (1996: 3)
[19] Tytler (1996: 20)
[20] Widodo, (2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar